Rabu, 08 Juni 2011

Oleh Oestman Sila 
Div. Program dan Pemberdayaan DASI NTB
------------------------------
Bila ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di pikiran kita? Mungkin berbagi dana, berbagi pakaian layak pakai, sembako, susu, atau berbagi makanan. Ya Semua jawaban mengandung materi.
Itu mungkin karena di kepala kita telah tertancap ide-ide materialistik yang sudah mengglobal. Mengukur segala sesuatunya dengan ukuran yang bersifat material dan kasat mata.
Saya punya kebiasan berkunjung ke rumah asuh binaan DASI NTB. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal bulan dan akhir bulan. Kunjungan pertama adalah survei untuk mengetahui kebutuhan rumah asuh. Kunjungan kedua membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Suatu hari, ketika berkunjung, saya bertemu dengan seorang bocah bernama Budi.
“Budi, apa yang kamu mau dik” begitu saya membuka percakapan. “Budi mau baju baru..sepatu baru...tas baru atau apa?” tambah saya.
“Nggak ah… ntar Om marah” jawab Budi.
“Nggak sayang, Om nggak akan marah,” saya menimpali.
”Nggak ah... ntar Om marah” Budi mengulang jawabannya. Saya berpikir, pasti yang diminta Budi adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan saya semakin menjadi. Maka saya dekati lagi Budi.
”Ayo katakan apa yang kamu minta”.
”Tapi janji ya Om tidak marah?” jawab Budi manja.
”Om janji tidak akan marah,” tegas saya.
”Bener Om nggak akan marah?” sahut Budi agak ragu. saya menganggukkan kepala
Budi menatap tajam wajah saya. Sementara saya berpikir. ‘Seberapa mahal sich yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya tidak akan marah’ pikir saya. Sambil tersenyum saya katakan “ayo Dik, katakan, jangan takut, Om tidak akan marah.”
”Bener ya Om nggak marah?,” ujar Budi sambil terus menatap wajah. Sekali lagi saya menganggukkan kepala. Dengan wajah berharap-harap cemas, Budi mengajukan permintaanya ”Mmmm, boleh tidak saya memanggil Om..dengan paggilan Ayah?”
Mendengar jawaban itu, Saya tak kuasa membendung air mata. Segera saya peluk Budi, ”tentu Anakku.. tentu Anakku...mulai hari ini Budi boleh memanggil Ayah, bukan Om”. Sambil memeluk erat saya, dengan terisak Budi berkata ”terima kasih ayah... terima kasih ayah..”.
Hari itu, adalah hari yang takkan terlupakan buat saya. Saya habiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Budi. Karena merasa belum memberikan sesuatu berbentuk material kepada Budi maka sebelum pulang saya bertanya lagi pada Budi, ”anakku, nanti ayah akan datang lagi kemari, apa yang kamu minta nak?”
”Kan udah tadi, Budi sudah boleh memanggil Ayah,” jawab Budi.
”Budi masih boleh minta lagi sama ayah., pasti akan Ayah kasih.”
”Nanti kalau ayah datang ke sini, aku minta Ayah bawa foto bareng yang ada Ayah, Ibu dan kakak-kakak Budi, boleh kan Ayah?” Budi memohon sambil memegang tangan saya.
Tiba-tiba kaki saya lunglai. Saya berlutut di depan Budi. Saya peluk lagi Budi sambil bertanya, ”buat apa foto itu Nak?”
“Budi ingin tunjukkan sama temen-temen Budi di sekolah, ini foto ayah Budi, ini ibu Budi, ini kakak-kakak Budi.” Saya memeluk Budi semakin erat, seolah tak mau berpisah dengan sang  kecil yang menjadi guru kehidupa saya di hari itu.
Terima kasih Budi. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta, karena itu lebih bermakna dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta, maka kehidupan kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia.
Cerita di atas  adalah fiktif Belaka.
Bagi Ikhwafillah yang ingin BERBAGI CINTA. DASI NTB memiliki RUMAH ASUH dan mencari Ayah dan Ibu Angkat  bagi mereka. Rekening Muamalat RUMAH ASUH : 901.29488.99 a.n Tarsito qq DASI PEDULI.

0 komentar :

Posting Komentar