Rabu, 08 Juni 2011

Saya tidak akan menjadikan tulisan ini sebagai bahan yang patut untuk dikasihani atau patut untuk dikecewakan. Ini bukan kesedihan ataupun sesuatu yang pantas ditangisi. Saya hanya berusaha menceritakan apa yang nyata dan benar adanya. Dan saya yakin ini hidup yang indah dan harus disyukuri. Ada hal yang penting untuk diungkapkan namun ada pula hal yang seharusnya disembunyikan. Karena itu, kisah ini menjadi lebih singkat dengan penerangan seadanya.


Nama saya Dian Ritami. Teman-teman lebih akrab menyebut saya Dian. Saya tinggal di jalan Gotong Royong RT 03 RW 03 Lingkungan Pejeruk Desa, Kelurahan Pejeruk, Kecamatan Ampenan Kota Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat, dengan keadaan keluarga yang hidup seadanya. Sebagai anak tentu saya mempunyai impian, sebagai pelajar saya juga mempunayai cita-cita, dan sebagai Muslim tentunya saya punya prinsip. Dengan prinsip inilah yang dapat membangkitkan semangat saya untuk mencapai apa yang saya impikan.
Ayah saya bernama Ahmad Bajri. Ia bekerja sebagai buruh lepas. Pekerjaan kasar tersebut ia tekuni sejak saya belum terlahir. Namun berkat kesungguhan beliau keluarga kecil kami mendapatkan nafkah lahir batin yang cukup hingga saat ini. Ibu saya hanya ibu rumah tangga yang sehari-harinya mengajar ngaji tanpa imbalan rutin. Sudah lebih dari 15 tahun ini pekerjaan tersebut ia geluti. Tepatnya semenjak keluarga kecil kami menempati rumah orang tua ibu saya (Nenek).
Kondisi ekonomi kamilah yang membuat ayah belum bisa membuatkan kami rumah, hingga tempat tinggal yang saya huni  sekarang adalah tempat tingal milik Nenek saya. Dan selanjutnya, jumlah tanggungan ayah pun bertambah, bukan hanya saya dan ibu, kini Nenek pun ada.
Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan yang bependidikan tinggi dalam Islam. Kakek saya menyarankan untuk saya disekolahkan pertama kali pada Taman Kanak-Kanak (TK) Al-Aziziyah Desa Kapek Kecamatan Gunung Sari. Namun, karena ayah saya tidak mempunyai biaya dalam menyekolahkan saya saat itu, maka semua pembiayaan ditanggung kakek saya. Dari Ampenan Ibu saya lah yang mengantarkan saya ke sekolah (bolak-balik) untuk mengenyam pendidikan di tingkat TK.
Selanjutnya, saya sekolah di SDN 09 Ampenan. Dahulu waktu saya pertama memasuki sekolah tersebut namanya SDN 1 Ampenan. Namun menjelang 4 tahun, berubah menjadi SDN 09 Ampenan hingga kini. Bisa dikatakan, saya adalah lulusan SDN 09 Ampenan dengan peringkat 4 terbaik saat lulus.
Semasa SD, prestasi saya selalu naik dengan nilai tiap semester meningkat selama 4 tahun. Namun 2 tahun saat kelas 5 dan 6, prestasi saya tidak semaju teman-teman hingga saya lulus dengan peringkat 4 terbaik di tingkat SD.
Menjelang SMP, saya bertekad untuk mondok. Ayah dan Ibu mengijinkan saya dengan memasukkan kembali ke Pondok Peanteren Al-Aziziyah pada tingkat SMP/MTs. Selama di SMP/MTs, Alhamdulillah saya mendapatkan gratis biaya SPP namun masih perlu membayar biaya ekstrakulikuler yaitu Tahfizul Qur’an. Saya mondok selama 2 tahun. Itu dikarenakan ayah dan ibu tidak lagi mampu membayar kost saya di pondok. Namun, alasan yang dipublikasikan tidak demikian. Penyakit Ashma dan Maag saya menjadi alasan utama penghentian saya mondok. Pasalnya selama 2 tahun saya sering sekali dibawa ke Rumah Sakit karena penyakit Ashma dan Maag. Karena itu juga ayah dan ibu mengeluarkan saya dari pondok. Dan selama 1 tahun di kelas IX saya hanya belajar yang umum di sekolah tingkat SMP/MTs.  
Lalu yang terakhir tingkat SMA. Saya memasuki SMAN 1 Mataram dengan mulus dikarenakan nilai saya yang berjumlah 35,65 dan melebihi standar yang dipatok SMAN 1 Mataram. Biaya awal sewaktu saya memasuki SMA totalnya adalah Rp. 2.500.000, ini masih secara kasar. Kata ibu,biaya ini adalah nafas yang dikorbankan demi sekolah saya.
Lagi-lagi, dikarenakan kondisi ekonimi keluarga yang sangat tidak mendukung, ayah dan ibu harus berhutang kepada beberapa orang. Paman dan kakek (adik ayah dan paman ayah) adalah donatur terbesar dari proses awal sekolahku ke tingkat SMA. Bisa dikatakan biaya kotor tersebut, merekalah yang melunasinya. Biaya tersebut termasuk : pembangunan, spp awal, biaya pakaian, dan sebagainya. Dengan bantuan mereka, akhirnya hari pertama sekolah dapat aku enyam hingga sekarang.
Masa kelas X berlansung setengah tahun. Hari senin, saya terlambat masuk sekolah. Kepala Sekolah dan salah satu guru BK mengintrogasi kami di depan pintu gerbang sekolah. Kami yang terlambat ditanya alasannya mengapa terlambat datang ke sekolah. Berbagai macam alasan muncul dihadapan kepala sekolah. Saya hanya menjawab : “saya berjalan kaki untuk sampai ke sekolah, namun hari ini saya terlambat bangun pagi hingga terlambat pula ke sekolah”.
Setelah jawaban saya itu, salah satu guru BK memproses keterlambatan saya ke sekolah hari itu. Ia memberikan jalan untuk meringankan biaya sekolah saya. Beliau meminta saya mengumpulkan beberapa berkas yang dapat berarti permohonan beasiswa untuk keluarga kurang mampu. Disanalah jalan awal saya mendapatkan keringanan dalam biaya pendidikan saya di tingkat SMA.
Dan hingga saat ini saya tidak perlu lagi membayar SPP per bulan atau uang sumbangan pembangunan per tahun.  Bahkan untuk ikut dalam jalur undangan SNMPTN 2011 tahun ini saya tidak perlu mengeluarkan biaya dikarenakan mengikuti program Bisik Misi. Cita-ciata saya selanjutnya adalah memasuki Universitas Indonesia di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Ilmu Komunikasi. Semoga dengan tulisan ini dapat kembali meringankan peran ayah saya dalam menempuh pendidikan tingkat tinggi.
 *DIAN RITAMI (Siswi SMAN 1 Mataram angkatan 2011, Lulus di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, dan pelamar beastudi ETOS via DASI NTB )


0 komentar :

Posting Komentar